LAHATINFO, Merapi barat - Desa Muara Temiang adalah desa yang sangat bersejarah yang berada di Kecamatan Merapi barat Kabupatan Lahat Sumatera Selatan, dengan memiliki luas wilayah lebih kurang 1.098 hektar dan mempunyai 3 dusun yang terdiri dari 300 kepala keluarga (KK) dengan total jumlah penduduk lebih kurang 998 jiwa.
Penghasilan masyarakat Desa Muara Temiang mayoritas adalah bertani, berkebun, beternak, dan ada juga sebagian berdagang di desa maupun berdagang di luar desa.
Berdasarkan penuturan Imam Suku Lime,Yang mana kedatangan Puyang Krio Babat tidak terlepas dari peradaban Raden Fatah Raja Demak I yang dalam misinya untuk menyebarkan agama Islam yang ada di wilayah Sumatera Selatan.
Raden Fatah yang merupakan Raja Demak I merupakan anak dari Raja Majapahit (Brawijaya Lima) dengan seorang isterinya (selir) yang berasal dari anak raja dari kerajaan Campah (Negara Kamboja).
Singkat cerita, Raden Fatah yang pada waktu itu dilahirkan di Palembang menemui ayah nya Brawijaya lima yang berada di tanah jawa yang mana Raden Fatah dijanjikan oleh ayah nya untuk menjadi raja atau pangeran di dalam istana kerajaan Majapahit.
Namun Raden Fatah menolak untuk menjadi raja, karena didasari Raden Fatah ingin mendalami ajaran syariat Islam, oleh karena kakeknya dan ibunya merupakan atau sudah lama memeluk agama Islam.
Pada waktu itu Raden Fatah mendalami ajaran agama Islam dengan berguru pada Sunan Ampel, selama Raden Fatah berguru pada Sunan Ampel dan beliau juga mempunyai begitu banyak kelebihan selama mendalami ilmu agama Islam dengan Sunan Ampel di tanah jawa dan merasa ilmu sudah cukup.
Sehingga dengan adanya kesempatan dan dukungan dari Wali Songo pada saat itu maka di dirikanlah kerajaan Islam yang pertama di tanah jawa yaitu di Demak oleh karena Raden Fatah ini yang merupakan anak dari raja kerajaan Majapahit dan memang keilmuan di bidang agama sudah sangat matang.
Seiring berjalannya waktu Raden Fatah menjadi raja Demak dengan mendapatkan gelar Sultan Syah Alam Akbar Al Fatah.
Selain menjadi raja Demak Raden Fatah mendapatkan tugas oleh Sunan Ampel untuk menyebarkan dakwah dan penyebaran agama Islam yang ada diwilayah pedalaman Sumatera Selatan dengan alasan Raden Fatah lahir di Palembang yang dalam artian sudah sangat tau dan faham seluk beluk tentang wilayah di pedalaman Sumatera Selatan.
Singkat cerita dengan persiapan perbekalan logistik dan lain-lain Raden Fatah berangkatlah dari Demak dengan disertai istri nya ( Penatih Kemale Diwe) dan Hulu Balang ( pengikutnya ) dan prajurit - prajuritnya dengan menggunakan kapal ( Perahujung ) yang konon Perahujung tersebut di dayung oleh ratusan prajurit nya.
Setiba di Palembang yaitu di muara pertemuan Air Lematang, Air Ogan, Air Komering, dan Air Musi dan lain-lain, Raden Fatah merasa kebingungan jalur yang manakah akan dimasuki jalur air tadi, akhirnya Raden Fatah berdoa dan meminta petunjuk kepada Allah SWT dari sekian air tadi beliau menimbangnya mana air yang lebih berat, dan dari sekian banyaknya air yang di timbang maka Air Lematang lah yang lebih berat timbangannya.
Akhirnya Raden Fatah memutuskan untuk memasuki muara jalur Sungai Lematang, selama melewati jalur Sungai Lematang tepatnya ( sekarang ) di Kabupaten Lahat Perahujung Raden Fatah tidak bisa lewat, karena adanya akar pohon besar yang mengganggu Perahujung untuk lewat, oleh karena ada hambatan tersebut maka Raden Fatah memutuskan untuk naik ataupun singgah untuk istirahat disekitar tanah yang ada pohon tersebut.
Selama beristirahat tersebut Raden Fatah mendengar ada suara keramaian di kejauhan wilayah tersebut oleh karena itu Raden Fatah mengutus prajuritnya untuk mendekati dan menghampiri keramaian tersebut, alhasil setelah beberapa waktu ternyata utusan atau prajurit tersebut tidak pulang kembali sehingga Raden Fatah memutuskan untuk menyusul prajurit yang tidak kembali tersebut.
Dan ternyata prajurit tersebut sudah di sandera oleh sekelompok perkumpulan Penyamun (perampok) yang akhirnya membuat Raden Fatah sedikit geram dengan segerombolan Penyamun (perampok) tersebut, dan salah satu dari segerombolan perampok tersebut ingin mengambil harta Ghonimah yang ada di Perahujung dan juga menantang Raden Fatah.
Singkat cerita terjadilah peperangan kecil antara Raden Fatah dan prajuritnya dengan segerombolan Penyamun (perampok) tersebut dan alhasil perselisihan tersebut dimenangkan oleh Raden Fatah yang membuat segerombolan tersebut menyerah dan meninggalkan tempat tersebut.
Setelah itu Raden Fatah melihat, mengamati tempat tersebut, dan dari hasil pengamatan Raden Fatah mengenai tempat tersebut ternyata tanah yang disana subur, dekat dengan sungai, ataranya datar dan luas berdasarkan hasil musyawarah Raden Fatah dan pengikutnya memutuskan tempat tersebut layak untuk membuat suatu pemukiman kecil ataupun padepokan selama menjalankan misi dakwah di sekitar daerah tersebut.
Seiring berjalannya waktu Raden Fatah menyebarkan agama Islam di daerah tersebut, lama kelamaan pemukiman tersebut menjadi suatu perkampungan (desa) yang pada saat ini permukiman tersebut yang dikenal yaitu Desa Pagar Batu Kecamatan Pulau Pinang.
Dahulu semasa Raden Fatah dan istrinya Penatih Kemale Diwe (Putri Campah) desa itu dinamai oleh Raden Fatah Dusun Jaya Baya dan lama kelamaan berubah menjadi Desa Pagar Batu, selama lebih kurang 15 - 20 tahun Raden Fatah beserta istri menetap di Desa Pagar Batu dan di karuniai 9 orang anak laki - laki dan perempuan.
Adapun nama nama anak tersebut yaitu:
1. Penatih Kemale Dite ( menjadi Puyang Desa Muara Temiang dan Desa Pagar Batu)
2. Putri Kemale Mentie ( menjadi Puyang Desa Karang Raja Kabupatan Muara Enim)
3. Sang Ayun Depati / Krio Bungamas ( menjadi Puyang Desa Muara Temiang dan Desa Jati)
4. Krio Suli ( menjadi Puyang Desa Jati)
5. Krio Baung ( menjadi Puyang Desa Tanjung Jati Kabupatan Muara Enim)
6. Krio Lematang
7. Putri Sinjar Api ( menjadi Puyang Desa Merapi, Pangeran Merapi)
8. Putri Sinjar Bulan (Puyang Desa Gunung Agung Kecamatan Merapi barat)
9. Putri Bungsu ( menjadi Puyang Desa Jati)
Dan setelah lama - kelamaan setelah Raden Fatah menetap di Desa Pagar Batu dan menjadi pemukiman serta menjadi di Desa Pagar Batu Raden Fatah mempunyai 9 anak yang telah disebutkan maka Raden Fatah memberikan nama Desa Muara Temiang, Desa Pagar Batu, Desa Selawi, Desa Muara Siban, Desa Jati di jadikan nama secara adat istiadat yaitu 'Soko Limo' yang berarti Soko adalah Tiang dan Limo adalah Lima Waktu.
Istilah 'Soko Limo' merupakan pemberian Raden Fatah yang mana Raden Fatah diketahui merupakan penyebar agama Islam sehingga dirinya menganjurkan untuk melaksanakan sholat lima waktu dan lama kelamaan pengucapan 'Soko Limo' berubah menjadi Suku Lime karena adanya perubahan dialek di Kabupaten Lahat maka pengucapannya menjadi Suku Lime.
Yang artinya ke 5 desa tersebut adalah desa inti, dan bukan berarti desa lainnya tidak termasuk Suku Lime, namun ke 5 desa tersebut yang merupakan suku intinya.
Dari narasumber kompeten yang merupakan Kepala Desa Muara Temiang Sefta Hariyanto S.Kom yang juga selaku Jurai Tue Muara Temiang menjelaskan agar tidak ada penafsiran yang negatif dalam hal pengertian nama Puyang Penatih Kemale Diwe.
Dirinya menjelaskan bahwa 'Diwe' yang dimaksud bukan merupakan Dewa yang diagungkan dan disembah akan tetapi pada waktu itu arti Diwe merupakan sebutan bagi orang-orang yang pada waktu itu mempunyai kelebihan dan tingkat keilmuan agama yang sudah luas.
Singkat cerita setelah remaja Puyang Penatih Kemale Diwe dipersunting oleh seseorang pemuda dari Desa Talang Sawah yang sekarang ini berada dalam wilayah Kecamatan Lahat Selatan Kabupaten Lahat, yaitu Puyang Setigahaq anak dari Puyang Anom Permate Gumay yang merupakan salah satu Hulu Balang yang sakti mandraguna dalam lingkungan Jurai Gumay Lembak setelah menjadi menantu Raden Fatah dan menetap di Desa Pagar Batu Puyang Setigahaq dalam pengamatan dan bukti-bukti yang ada bahwa Setigahaq mempunyai kelebihan baik secara keagamaan dan juga keilmuan sehingga dirinya dijadikan Hulu Balang (panglima perang) di padepokan Suku Lime.
Setelah menetap di Desa Pagar Batu lebih kurang 20 tahun dan juga Raden Fatah merasa misi dakwah ajaran agama Islam sudah meluas di sekitaran Lahat, Raden Fatah berkeinginan pulang ke Demak untuk sementara waktu, setelah sampainya di Demak dan beberapa waktu kemudian putra mahkotanya yang bernama Pangeran Sabrang Lor gugur di medan perang dan hingga akhirnya Raden Fatah memutuskan untuk tidak kembali ke Desa Pagar Batu karena ada permasalahan internal yaitu keluarga anak cucu Raden Fatah dalam perebutan kekuasaan raja Demak.
Sebelum meninggalkan Desa Pagar Batu, Raden Fatah memberikan mandat tahta kepemimpinan kepada menantunya Setigahaq untuk mengurus dan menata padepokan yang ada di wilayah adat Suku Lime.
Selama di Pagar Batu, Penatih Kemale Dite dan Setigahaq mempunyai 3 orang anak yaitu:
1. Krio Babat
2. Depati Perbe
3. Krio Wape
Pada waktu itu Puyang Krio Babat yang lahir, besar dan menetap di Desa Pagar Batu oleh karena ada perselisihan Puyang Gunung Agung dan Puyang Manggul yaitu perebutan wilayah desa sehingga Krio Babat ditugaskan oleh ayahnya Puyang Setigahaq untuk menjadi penengah guna menyelesaikan permasalahan dua desa yang bertikai akhirnya berangkatlah Krio Babat menggunakan rakit terbuat dari bambu menyelusuri huluan Sungai Temiang yang berada di belakang daerah perbukitan Desa Pagar Batu.
Setelah sesampainya di muara Sungai Temiang Krio Babat menuju perbatasan antara Desa Gunung Agung dan Desa Manggul untuk menawarkan mediasi ataupun penengah antara dua desa yang bertikai tersebut yaitu dengan menggunakan mediasi yaitu Pohon Batang Bahu sebagai adu kesaktian 'Siape Yang Pacak Naiki Batang Bahu Yang Kulite lah Disepasi' (licin) dan bagian pucuk batang lah diluncu'i, singkat cerite Puyang Krie Babat yang lebih dahulu tibe-tibe melumpat dan Sila Panggung di Pucuk Batang Bahu yang di runcingi tadi, dan akhirnye setelah Krio Babat turun akhirnya dua kepuyangan yang bertikai tersebut bersedia untuk mengikuti saran dan pendapat terkait penyelesaian batas wilayah secara Tabayyun sesuai ajaran syariat Islam yaitu musyawarah mufakat.
Singkat cerita agar tidak ada perselisihan nya di kemudian hari Puyang Manggul dan Gunung Agung memberikan hadiah kepada Krio Babat yaitu sebuah wilayah yang terletak di sebelah timur Desa Manggul dan sebelah barat Desa Gunung Agung guna untuk menghindari perselisihan di kemudian harinya.
Lama kelamaan wilayah tersebut menjadi wilayah Desa Muara Temiang. Dahulu desa Muara Temiang awalnya cuman terdapat 25 rumah yang di mukimi oleh keluarga dan kerabat Raden Fatah terutama yaitu sang Ayundapati / Krio Bungamas, Krio Babat dan Puyang Saleh Hubung yang merupakan Hulu Balang Raden Fatah yang berasal dari Demak.
Yang mana pemangku adat dipimpin oleh Krio Babat sebagai penerus tahta ayahnya Setigahaq sebagai imam/junjungan Suku Lime.
Setelah sekian lama ditempat tersebut keturunan Krio Babat, Krio Bungamas, Saleh Hubung dan keluarga memutuskan untuk berpindah tempat guna menghindari gangguan binatang buas serta mendekati sungai sebagai sumber air untuk penghidupan mata pencarian.
Selanjutnya keturunan Krio Babat dan rombongan sampailah tepatnya di ataran Padang Gunung yang berada di pinggiran Sungai Lematang. Setelah sekian lama bermukim dan beranak pinak keturunan Krio Babat, Sang Ayun Depati, Saleh Hubung di Padang Gunung memutuskan untuk berpindah lagi dengan tujuan keamanan, kesejahteraan dan kepentingan tertentu anak cucu kedepannya nanti, maka memutuskan untuk berpindah tempat lagi ke pemukiman di Desa Muara Temiang sampai dengan sekarang ini.
Sebelum berpindah ke tempat yang sekarang meninggalkan pemukiman Padang Gunung Sang Ayun Depati atau Krio Bungamas sudah meninggal dunia dibuktikan dengan adanya makam Sang Ayun Depati atau Puyang Padang Gunung. Serta dibuktikan dengan adanya makam Puyang Saleh Hubung, Krio Babat dan makam-makam lainnya di pemukiman sebelumya.
Pada saat ini masyarakat Desa Muara Temiang meyakini dan tetap menjalankan kearifan lokal yaitu hukum adat istiadat yang berlaku selama ini dan tentunya hukum adat ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan ajaran syariat agama yang telah dianut oleh masyarakat.
Konon, hukum adat Suku Lime Desa Muara Temiang diyakini bersumber aturannya dari kitab Simbur Cahaye.
Pemberlakuan hukum kitab Simbur Cahaye dicontohkan seperti apabila ada warga yang melakukan zina ataupun hamil diluar nikah maka yang bersangkutan harus membayar denda hukum adat yaitu menyembelih satu ekor kambing berwarna hitam penuh mulai dari seluruh kepala, badan, kaki, ekornya dan mempunyai warna hitam sedikit di bagian kepala (Cule)
Yang nantinya kambing tersebut diserahkan dan dimasak secara bersama-sama di rumah pemangku adat (Jurai Tue) dan selanjutnya selepas sholat Jumat Jurai Tue mengumpulkan Juhu Empat, tokoh agama, tokoh masyarakat dan perwakilan masyarakat untuk menyampaikan atas perbuatan yang telah dilakukan oleh masyarakat bersangkutan.
Selain itu juga di Desa Muara Temiang tetap melastarikan kegiatan adat istiadat yaitu setiap tahunnya pada malam 1 Muharam atau 1 Suro dilakukan Sedekah Adat atau Sedekah Rame di rumah Jurai Tue dengan penyembelihan 1 ekor kerbau yang di siangnya dimasak secara bergotong royong oleh masyarakat.
Adat istiadat ini bertujuan untuk memohonkan doa kepada Allah SWT semoga masyarakat Desa Muara Temiang diberikan kesehatan, selalu mendapat ridho dan barokah serta dijauhkan dari segala bencana dan malapetaka.
Serta masih banyak hukum adat lainnya yang belum bisa kami sampaikan satu persatu dalam kesempatan yang baik ini.
Ketua adat atau Jurai Tue Desa Muara Temiang saat ini dipimpim oleh Sefta Haryanto S.Kom yang secara kebetulan merupakan Kepala Desa Muara Temiang saat ini.
Beliau dilantik menjadi Jurai Tue Muara Temiang tepatnya pada bulan Maret tahun 2023 oleh ayahnya yaitu Darwin bin Turi yang merupakan imam penghulu (junjungan) Suku Lime yang menaungi seluruh urusan adat yang ada diwilayah adat Suku Lime ( Desa Muara Temiang, Desa Pagar Batu, Desa Jati, Desa Muara Siban dan Desa Selawi).
Jurai Tue dalam menjalankan tugas hukum adat di Desa Muara Temiang dibantu oleh pemangku adat lainnya yaitu Iskamil, Idris, Turi dan Juhu Empat yaitu Erhani, Sarnawi, Kasirman dan Samsul Baharudin yang diwarisi keturunannya secara turun temurun dari pendahulunya.
Adapun pusaka peninggalan Raden Fatah dan Krio Babat yang masih tersimpan sampai saat ini adalah Keris Berangke Selawi, Keris Krio Babat dan Tombak Lidah Badak.
Hingga saat ini Desa Muara Temiang dikenal merupakan salah satu desa yang kaya dan subur dengan dibuktikan banyaknya warga yang menggarap lahan perkebunan dan persawahan. Bahkan bukan hanya dikenal tanahnya yang subur dengan hasil pertanian, Desa Muara Temiang juga mempunyai sumber daya alam mineral batubara yang melimpah sehingga banyak perusahaan yang tertarik untuk berinvestasi di Desa Muara Temiang.
Namun sangat disayangkan, dengan masuknya beberapa perusahaan di Desa Muara Temiang meski mempunyai dampak positif bagi masyarakat sekitar, namun disisi lainnya juga memberikan dampak negatif berupa limbah yang mengakibatkan pencemaran lingkungan disekitar perkebunan masyarakat karena akibat dari dampak aktivitas perusahaan batubara yang belum terselesaikan hingga saat ini.
Dari akibat dampak lingkungan pencemaran limbah batubara tersebut juga mengakibatkan terjadinya penurunan hasil pertanian secara langsung yang berdampak terhadap para petani di Desa Muara Temiang (*)